Minggu, 06 Maret 2011

Karya Tulis Pelestarian Lingkungan hidup

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebenarnya manusia hanyalah bagian kecil dari alam ini. Tapi tindakannya yang sembrono dan serakah menyebabkan banyak spesies punah tiap tahunnya. Manusia yang adalah makhluk yang mempunyai kemampuan yang melebihi dari makhluk lain di alam ini, seharusnya mendayagunakan kemampuannya untuk menjaga dan memelihara ekosfer dan ekosistem. Manusia diharapkan dapat merubah sikapnya dari destruktif ke konstruktif. Akal budi bisa digunakan untuk memperbaiki alam. Dengan akal budinya, manusia memiliki kemampuan tidak hanya menghasilkan mesin dan industri yang bisa merusak alamtetapi akal budi manusia juga mampu ‘digiring’ untuk menciptakan teknologi yang mendukung kelestarian alam. Contohnya adalah adanya usaha penanaman tumbuh-tumbuhan atau melakukanpenghijauandi daerah kering,di Arab Saudi.
Kita hendaknya mengganti paradigma manusia sebagai sang penakluk komunitas alam dengan paradigma manusia sebagai anggota dari komunitas alam. Dengan begitu manusia mampu menghargai anggota lain di dalam komunitas ekosistem. Aldo Leopold menyatakan bahwa “Sesuatu adalah benar jika hal itu menuju pada kesatuan, stabilitas dan keindahan komunitas biotik. Adalah salah jika menuju ke arah lain”.
Salah satu faktor penyebab terpenting yang perlu diperhatikan dalam proses terjadinya perusakan lingkungan oleh manusia adalah faktor ekonomi. Secara lebih khusus lagi adalah segi kerakusan manusia, dimana manusia melakukan eksploitasi tak terbatas terhadap alam. Alam hanya dilihat sebagai benda penghasil uang. Dunia sekarang ini berada dalam sistem ekonomi lama, yaitu kapitalisme yang menjunjung tinggi keuntungan dan mengakibatkan hilangnya nilai kebersamaan.
Sekarang ini diperlukan adanya perubahan sikap manusia secara mendasar dalam memperlakukan alam. Perubahan itu adalah perubahan nilai, dari nilai hubungan manusia dengan alam yang bersifat ekonomis ke nilai hubungan yang dilandasi oleh sikap menghargaialam sebagai bagian dari hidup manusia. Jadi berdasar pada nilai yang tidak melulu dan hanya berorientasi keuntungan manusia. Maka diharapkan ada usaha untuk menemukan suatu sistem ekonomi baru yang sungguh menghargai “yang lemah”, yang nampaknya tak berperan dalam kehidupan di dunia ini.
Begitu baiknya alam ini hingga mampu menciptakan spesies-spesies yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya. Di dalam alam juga tercipta simbiosis-simbiosis. Tumbuhan, binatang dari yang paling kecil hingga yang terbesardan manusia, terjalin dalam jaring-jaring rantai makanan. Masing-masing punya perannya sendiri dalam melestarikan alam ini. Semuanya membentuk suatu komunitas yang saling tergantung. Inilah yang perlu sungguh disadari manusia. Hewan, tumbuhan dan segala sesuatu bagian dari ekosistem merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hidup manusia. Merusak dan membunuh mereka tanpa perhitungan berarti menghancurkan manusia sendiri.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : “Bagaimana pengaruh pelestarian lingkungan pada kehidupan manusia”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Konservasi
Pada awalnya, upaya konservasi di dunia ini telah dimulai sejak ribuan tahun yang lalu. Naluri manusia untuk mempertahankan hidup dan berinteraksi dengan alam dilakukan antara lain dengan cara berburu, yang merupakan suatu kegiatan baik sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidup, ataupun sebagai suatu hobi/hiburan.
Di Asia Timur, konservasi sumber daya alam hayati dimulai saat Raja Asoka (252 SM) memerintah, dimana pada saat itu diumumkan bahwa perlu dilakukan perlindungan terhadap binatang liar, ikan dan hutan.Sedangkan di Inggris, Raja William I (1804 M) pada saat itu telah memerintahkan para pembantunya untuk mempersiapkan sebuah buku berjudul Doomsday Book yang berisi inventarisasi dari sumber daya alam milik kerajaan.
Kebijakan kedua raja tersebut dapat disimpulkan sebagai suatu bentuk konservasi sumberdaya alam hayati pada masa tersebut dimana Raja Asoka melakukan konservasi untuk kegiatan pengawetan, sedangkan Raja William I melakukan pengelolaan sumber daya alam hayati atas dasar adanya data yang akurat.Namun dari sejarah tersebut, dapat dilihat bahwa bahkan sejak jaman dahulu, konsep konservasi telah ada dan diperkenalkan kepada manusia meskipun konsep konservasi tersebut masih bersifat konservatif dan eksklusif (kerajaan). Konsep tersebut adalah konsep kuno konservasi yang merupakan cikal bakal dari konsep modern konservasi dimana konsep modern konservasi menekankan pada upaya memelihara dan memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana.
Konservasi itu sendiri merupakan berasal dari kata Conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902) yang merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi.
Sedangkan menurut Rijksen (1981), konservasi merupakan suatu bentuk evolusi kultural dimana pada saat dulu, upaya konservasi lebih buruk daripada saat sekarang.Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumber daya alam untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi sumber daya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang.
B. Kebijaksanaan Nasional Dalam Pelestarian Lingkungan Hidup
Kebijakan nasional lingkungan hidup merupakan nilai-nilai dasar dalam pelestarian lingkungan yang terdiri butir-butir sebagai berikut :
Pelestarian lingkungan dilaksanakan berdasarkan konsep Pembangunan Berkelanjutan yaitu pembangunan yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan manusia saat ini, tanpa mengurangi potensi pemenuhan aspirasi dan kebutuhan manusia pada generasi-generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan didasarkan atas kesejahteraan masyarakat serta keadilan dalam jangka waktu pendek, menengah dan panjang dengan keseimbangan pertumbuhan ekonomi, dinamika sosial dan pelestarian lingkungan hidup.
Fungsi lingkungan perlu dilestarikan demi kepentingan manusia baik dalam jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Pengambilan keputusan dalam pembangunan perlu memperhatikan pertimbangan daya dukung lingkungan sesuai fungsinya. Daya dukung lingkungan menjadi kendala (constraint) dalam pengambilan keputusan dan prinsip ini perlu dilakukan secara kontinyu dan konsekuen.
Pemanfaatan sumber daya alam tak terpulihkan perlu memperhatikan kebutuhan antar generasi. Pemanfaatan sumber daya alam terpulihkan perlu mempertahankan daya pemulihannya.
Setiap warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat dan berkewajiban untuk melestarikan lingkungan. Oleh karenanya, setiap warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan informasi lingkungan yang benar, lengkap dan mutakhir.
Dalam pelestarian lingkungan, usaha pencegahan lebih diutamakan daripada usaha penanggulangan dan pemulihan.
Kualitas lingkungan ditetapkan berdasarkan fungsinya. Pencemaran dan kerusakan lingkungan perlu dihindari bila sampai terjadi pencemaran dan perusakan lingkungan, maka diadakan penanggulangan dan pemulihan dengan tanggung jawab pada pihak yang menyebabkannya
Pelestarian lingkungan dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip pelestarian melalui pendekatan manajemen yang layak dengan sistem pertanggung jawaban.
C. Paradigma Pelestarian Lingkungan
Sekarang ini paradigma pembangunan lebih bersifat high-techsentris, hingga keberhasilan pun hanya dilihat dari angka kuantitatif yang berdimensi material. Sementara itu keseimbangan ekologis, langka – untuk tidak mengatakan tak pernah sama sekali – mendapat perhatian dari fasilitator pembangunan.
Akibatnya ratusan juta, miliaran, bahkan triliunan rupiah terkikis habis diterjang kemurkaan alam lewat berbagai kondisi lingkungan yang kian degradatif. Misalnya, hutan Indonesia mengalami kerusakan yang sedemikian parah dari sekira 120,35 juta hektare; 59 juta hektare diantaranya rusak dan memerlukan rehabilitasi. Bahkan laju pengrusakannya berkisar 2,83 juta hektare setiap tahunnya. Kerugian material yang diderita pun hampir mencapai Rp. 10 triliunan per tahun.
Jika kondisi di atas tidak segera mendapat perhatian, saya rasa sepuluh atau dua puluh tahun ke depan, hutan Indonesia akan mengalami penurunan, bahkan kehancuran. Maka, pengelolaan sumber daya alam (SDA) secara terpadu semestinya menggunakan paradigma berwawasan ekologis hingga pemanfaatannya tidak berbentuk pengurasan habis-habisan yang mengabaikan kaidah-kaidah keseimbangan alam.
Lantas, bagaimana peran religiusitas, dalam hal ini Islam yang memiliki sumber pertama (masdar al-awwal) Al-Qur’an dalam memberikan sumbangsih bagi keberlangsungan ekosistem lingkungan hidup? Sebab, kekritisan sumber daya alam adalah ancaman berat bagi pembangunan. Dari sinilah, pembangunan berbasis nilai-nilai religius sangat urgen diperhatikan agar bangsa dapat bepijak secara kokoh dan program pembangunan pun berkesinambungan serta mengikuti “aturan main” alam.
Agama mengajarkan bahwa arah pembangunan semestinya digusur pada keteraturan yang mengikuti kaidah-kaidah alamiah. Ada firman Tuhan yang bermakna pentingnya menjaga keteraturan ekologis, yakni surat Ar-Ruum ayat 41: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena ulah (eksploitasi dan eksplorasi tak berkaidah) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka (akibat) perbuatannya, agar mereka kembali (ke program konservasi alam)”.
Esensi ayat di atas, menjelaskan konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) yakni dari kalimat “agar mereka kembali”. Term “kembali” kalau ditinjau dengan kerangka pembangunan berwawasan ekologis, bersanding kuat dengan program pelestarian lingkungan hidup. Misalnya, program konservasi alam, reboisasi, pajak perusahaan untuk menjaga kelestarian alam, pendidikan lingkungan hidup untuk anak didik dan pengurusan izin analisis dampak lingkungan (amdal).
Kearifan ekologis berbasis agama juga dapat dilihat dari nama-nama surat tentang keragaman ekosistem dan fungsi ekologis, semisal Al-Baqarah (sapi betina), Al-Adiyat (kuda perang), An-Naml (semut), Al-Ankabut (Laba-laba), Ath-Thur (bukit thur) dan masih banyak lagi. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi alam beserta ekosistem kehidupannya memiliki sisi fungsional yang wajib dipelihara sebaik-baiknya. Karena itu, alangkah arif rasanya jika bangsa mulai merenungi kearifan ekologis yang dipesankan oleh-Nya melalui teks dan kita kontekstualisasikan sehingga bersesuaian dengan perkembangan zaman.
Tujuannya agar arah pembangunan dihiasi etika keadiluhungan agama, dan ketika berinteraksi dengan ekosistem lingkungan tidak dimanfaatkannya sembari “angkat tangan” melestarikan atau malah “cuci tangan” ketika dirinya merusak alam. Sebab, setiap penganut agama (baca: umat Islam) yang berbudaya tidak boleh bersikap dan berperilaku destruktif seperti melakukan pengrusakan secara membabi buta terhadap lingkungan hidup atas dalih pembangunan infrastruktur.
Demikian, dalam konteks sistem sosial budaya, hampir tiap daerah di kepulauan Indonesia memiliki indigenous knowledge system masing-masing ketika memperlakukan lingkungan hidup. Misalnya, dalam tradisi masyarakat Sunda pedalaman terdapat tiga klasifikasi hutan (leuweung) yang dijelaskan secara gamblang oleh Kusnaka Adimiharja (1994) dan bermanfaat bagi arah gerak pembangunan.
Pertama, leuweung sampalan, yakni hutan yang telah mengalami konversi menjadi lahan yang ditanami dan dijadikan tempat penggembalaan oleh masyarakat. Kedua, leuweung geuledegan, semacam hutan yang tidak boleh dieksploitasi warga, karena alasan kepercayaan dalam sistem sosial kemasyarakatan. Ketiga, leuweung titipan, semacam hutan yang boleh dieksploitasi dan dimanfaatkan warga setelah mendapatkan izin dari pemimpin adat.
Dari tiga sistem pengetahuan tersebut, terdapat makna perennial yakni pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan berparadigma ekologis adalah sebuah keniscayaan. Sebab selama ini arah pembangunan kerap diinterpretasi dengan pendekatan ekonomi-sentris saja. Akibatnya, potensi alam banyak terdegradasi ketika terkena proyek pembangunan, misalnya peristiwa meluapnya Lumpur panas di Sidoarjo yang menelan kerugian besar ialah salah satu ekses negatif dari pembangunan yang tak berkaidah. Atau, meningkatnya suhu Kota Bandung sebesar 34,5 derajat celcius pada musim kemarau adalah akibat dari penebangan pohon dan pembangunan infrastruktur yang jarang memperhatikan sarakan (baca: lingkungan) sekitar.
Kondisi di atas, tidak semestinya diabaikan oleh para pemerintah agar tercipta pembangunan yang menghasilkan income ekonomi di satu sisi dan keuntungan ekologis bagi warga secara berkesinambungan di lain sisi. Maka, konsep pembangunan di Indonesia mesti menghargai kearifan sistem sosial masyarakat daerah yang semenjak dahulu selalu berharmoni dengan alam sekitar. Para stakeholders di tiap daerah juga wajib menengok dan mempraktikkannya untuk kemudian dikontekstualisasi sehingga mewujud dalam bentuk pembangunan berkelanjutan.
Alhasil, income pendapatan ekonomi yang diperoleh warga tidak sesaat, melainkan terus-menerus (sustainable) sampai terwariskan pada anak cucu. Sebab, kita juga tahu bahwa kekayaan ekologis merupakan titipan anak cucu kita dan mesti dipelihara agar kelak mereka dapat bersenyum ria pada kehidupan. Tidak bermuram durja, apalagi bila sampai berusaha mengakhiri hidup dengan cara “bunuh diri” akibat kemiskinan yang diderita.
D. Pentingnya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pelestarian Lingkungan
Konservasi sumber daya alam hayati dimaksudkan sebagai upaya pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya senantiasa memperhitungkan kelangsungan persediaannya dengan tetap memelihara serta meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Tujuan melakukan konservasi tersebut adalah untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam dan keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat serta mutu kehidupan manusia (Dephut, 1990).
Strategi yang digunakan untuk mewujudkan tujuan tersebut adalah dengan tiga P (3P), yaitu :
1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan;
2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar beserta ekosistemnya;
3. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Proses perlindungan, pengawetan dapat dilakukan di kawasan konservasi, taman hutan raya, dan taman wisata alam; mengingat kawasan konservasi itu adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (Dephut, 1990).
Dari ketiga strategi tersebut satu dengan lainnya sangat berkait, sehingga untuk mewujudkan kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya harus dilakukan bersama-sama. Artinya kalau yang dilakukan hanya satu aspek, misalnya perlindungan saja tanpa dibarengi dengan pengawetan dan pemanfaatan, maka akan menimbulkan resiko biaya pengelolaan yang sangat tinggi, dengan tanpa memperoleh hasil. Sebaliknya, jika kegiatan tersebut hanya memfokuskan pada aspek pemanfaatan dengan tanpa memperhatikan pada perlindungan dan pengawetan, maka yang akan terjadi tentu saja pemusnahan sumber daya alam hayati tersebut.
Kegiatan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya ini meliputi tiga kegiatan sebagaimana yang telah diutarakan di atas, yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis, dan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari (Dephut, 1990).
Perlindungan Sistem Penyangga Perlindungan sistem penyangga ini dimaksudkan untuk memelihara proses ekologi yang dapat menunjang kelangsungan dan mutu kehidupan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Cara pemanfaatan wilayah perlindungan dan sistem penyangga hendaknya senantiasa memperhatikan kelangsungan dan fungsi perlindungan di wilayah tersebut.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, maka pengelolaan jenis di luar habitatnya dapat dilakukan dalam bentuk pemeliharaan, pengembangbiakan, pengkajian, penelitian, pengembangan rehabilitasi satwa, penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa liar.
Untuk melakukan kegiatan konservasi ex-situ berbagai persyarataan yang perlu dipenuhi, yaitu: tersedianya tempat yang cukup luas, aman dan nyaman, memenuhi standart kesehatan tumbuhan dan satwa, serta mempunyai tenaga ahli dalam bidang medis dan pemeliharaan. Begitu pula kalau ingin melakukan perkembangbiakan jenis di luar habitatnya, maka persyaratan yang perlu dipenuhi yaitu: dapat menjaga kemurnian jenis dan keanekaragaman genetik, dapat melakukan penandaan dan sertifikasi, serta dapat membuat buku daftar silsilah (Dephutbun, 1999b).
Ada berbagai kelebihan dan kekurangan dalam penyelenggaraan kegiatan konservasi ex-situ. Kelebihannya antara lain dapat mencegah kepunahan lokal pada berbagai jenis tumbuhan akibat adanya bencana alam dan kegiatan manusia, dapat dipakai untuk arena perkenalan berbagai jenis tumbuhan dan wisata alam bagi masyarakat luas, berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama yang berkaitan dalam kegiatan budidaya jenis hewan dan tumbuhan; sedangkan kelemahannya antara lain, konservasi ex-situ memerlukan kegiatan eksplorasi dan penelitian terlebih dahulu. Hal ini dilakukan adalah untuk melihat adanya kecocokan terhadap daerah atau lokasi sebelum kegiatan tersebut dilakukan; di samping itu pada kegiatan ini dibutuhkan pula dana yang cukup besar, serta tersedianya tenaga ahli dan orang yang berpengalaman.
Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam hendaknya senantiasa tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan, sedangkan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar harus selalu memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, keanekaragaman jenis tumbuhan, dan satwa liar tersebut.
Pemanfaatannya dapat dilakukan dalam bentuk pengkajian, penelitian dan pengembangan, penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran, budidaya tanaman dan obat-obatan, dan pemeliharaan untuk kesenangan (Dephutbun, 1999b). Khusus untuk perdagangan jenis tumbuhan dan satwa liar dalam skala kecil dapat dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan konservasi. Tentu saja jenis tumbuhan dan satwa liar tersebut adalah yang tidak dilindungi, sedangkan perdagangan dalam skala besar hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang telah memperoleh rekomendasi Menteri, di samping harus memiliki berbagai persyaratan tertentu lainnya (Dephut, 1990).
Adanya perubahan politik dari era sentralistik-otoriter ke desentralistik-demokratis yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah telah membawa dampak semakin tajamnya degradasi sumber daya alam dan ekosistemnya.
Perubahan tersebut akan mendorong adanya kegiatan yang mengarah pada perlombaan membangun daerah. Kegiatan tersebut senantiasa bertujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah sebagai sarana menuju kesejahteraan masyarakat setempat. Keadaan ini secara langsung atau tidak langsung akan mengakibatkan terjadinya eksploitasi kekayaan sumber daya alam dan ekosistemnya, sehingga pada gilirannya akan memacu keadaan lingkungan menjadi berada pada taraf membahayakan kehidupan masyarakat.
Terjadinya penurunan kualitas sumber daya alam ini merupakan suatu indikasi adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia dengan ketersediaan sumber daya alam.
Adanya peraturan pemerintah yang kurang memberikan penekanan pada upaya pelestarian sumber daya alam, dan lebih memprioritaskan perolehan pendapatan belaka, maka dapat membawa dampak yang sulit dihindari dalam pengelolaan sumber daya alam dan ekosistemnya. Sebagaimana data yang terjadi dewasa ini menunjukkan bahwalaju pengurangan luas hutan di pulau Sumatera mencapai 2 % per tahun, di pulau Jawa mencapai 0,42 % per tahun, di pulau Kalimantan mencapai 0,94 % per tahun, di pulau Sulawesi mencapai 1 % per tahun, dan di Irian Jaya mencapai 0,7 % per tahun. Adanya pengurangan luas hutan tersebut terjadi akibat proses laju penurunan mutu hutan (degradasi) dan pengundulan hutan (deforestasi).
Terjadinya degradasi dan deforestasi hutan tersebut telah memberikan implikasi yang sangat luas dan mengkhawatirkan bagi kehidupan masa depan manusia.
Ada berbagai masalah yang akan terjadi pada sumber daya alam dan ekosistemnya, jika dalam penjabaran dan pelaksanaan otonomi daerah tersebut tidak ditangani secara hati-hati. Masalah yang akan muncul tersebut akan berupa degradasi sumber daya alam dan ekosistemnya. Sebagai contoh adanya degradasi sumber daya kelautan, sumber daya sungai dan alirannya, sumber daya hutan, serta adanya berbagai dampak pencemaran akibat aktivitas pembangunan ekonomi antar daerah, dan lain-lain. Oleh sebab itu, sumber daya alam yang semula menjadi sumber utama bagi peningkatan pendapatan daerah, jika pemanfaatannya dalam jangka panjang tidak disertai dengan dukungan kebijakan yang mengarah kepada upaya perbaikan dan memperhatikan pelestarian sumber daya alam, maka hal tersebut sudah dapat diduga akan menjadi sumber konflik antar pemerintah daerah di masa yang akan datang.
Di awal era reformasi, terlihat gejala makin cepatnya degradasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Di berbagai daerah telah terjadi perusakan hutan, baik hutan lindung, hutan peyangga, hutan tanaman industri, dan kawasan konservasi. Rusaknya hutan, berarti telah terjadi kerusakan dan kepunahan keanekaragaman hayati, baik itu tumbuhan maupun satwa langka. Juga berbagai macam perusakan baik di laut, daerah aliran sungai, pertambangan, tanah, udara, dan air. Peristiwa tersebut telah terjadi secara merata di berbagai wilayah di Indonesia dengan akibat yang akan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.
Menyikapi fenomena degradasi sumber daya alam hayati bersamaan dengan pelaksanaan otonomi daerah saat ini, maka diperlukan kesadaran kolektif dan serentak pada semua lapisan masyarakat, baik para penyelenggara pemerintahan, pelaku ekonomi, dan masyarakat pada umumnya untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah.
Saat ini kita telah merasakan semangat pembaruan yang semakin tampil dengan wajah kebebasan yang tidak jelas batas-batas dan arahnya. Hampir semua aspek kehidupan sekarang telah dilanda gejala tersebut, termasuk kebebasan pemanfaatan sumber daya alam yang cenderung mengarah pada perusakan dan degradasi sumber daya alam itu sendiri. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan otonomi daerah, memang dituntut untuk dapat menggali potensi agar dapat menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri, tetapi bukan berarti bahwa kebebasan menggali potensi ini adalah merusak sumber daya alam yang ada. Pelaksanaan otonomi daerah tidak perlu terpaku pada perjuangan untuk memanfaatkan sumber daya alam dan ekosistemnya, jika nantinya yang akan menanggung segala kerugiannya adalah masyarakat.
BAB IIII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya akan sia-sia, bila hal tersebut tidak disertai dengan upaya pemberdayaan masyarakat. Kegiatan pemberdayaan masyarakat ini dapat meliputi peningkatan kesadaran dan kemampuan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam hayati tersebut. Strategi yang efektif dalam upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui suatu kegiatan kerjasama antara pihak Kawasan Konservasi, Perguruan Tinggi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Diharapkan dari upaya ini masyarakat dapat berperan aktif dalam kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, sehingga pada akhirnya kesejahteraan masyarakat dapat meningkat pula.
Kegiatan penyelamatan lingkungan harus membawa kesejahteraan bagi masyarakat yang ada di sekitar kawasan konservasi. Konservasi lingkungan yang meninggalkan masyarakat lokal hanya akan menimbulkan konflik dan berujung pada kegagalan program konservasi. Karena itu, kepentingan masyarakat harus diakomodasi dengan menjadikan mereka mitra konservasi.
Tujuan konservasi alam tidak akan tercapai tanpa kerja sama dengan masyarakat lokal karena mereka sangat tergantung pada sumber daya alam. Masyarakat harus tetap memperoleh keuntungan ekonomi dan sosial dari kegiatan konservasi itu.
Kegiatan pelestarian lingkungan akan berhasil bila masyarakat lokal merasakan manfaat dari kegiatan itu secara langsung. Selama ini kegiatan konservasi lingkungan selalu diikuti konflik antara masyarakat dan pengelola kawasan konservasi. Masyarakat di sekitar kawasan yang selama ini bergantung pada sumber daya alam tiba-tiba terputus aksesnya untuk memperoleh penghidupan dari alam.
Manfaat kawasan konservasi bagi masyarakat akan semakin tegas bila didukung kebijakan pemerintah dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan dan manajemen kolaborasi. Dalam manajemen kolaborasi, masyarakat dan semua pihak terkait berbagi peran dalam pengelolaan kawasan. Mekanisme ini bisa meningkatkan akuntabilitas dan efektivitas pengelolaan kawasan.
Penerapan jasa lingkungan merupakan salah satu cara pemberian imbalan yang layak bagi masyarakat konservasi. Sebagai contoh adalah mekanisme pembayaran jasa lingkungan di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Perusahaan Daerah Air Minum di sana membayar jasa lingkungan ke petani yang telah menjaga hutan di daerah tangkapan air Gunung Rinjani.
Wacana pembayaran jasa lingkungan seperti ini harus terus diangkat. Kita sering tidak memikirkan dari mana air yang kita minum selama ini. Bagaimana jika tidak ada masyarakat yang menjaga hutan di daerah tangkapan air.
Langkah lain yang penting dilakukan adalah meminta kontribusi dan penghargaan dari kelompok masyarakat penerima manfaat langsung kegiatan konservasi untuk ikut menanggung biaya konservasi. Hingga saat ini, sebut saja konsumen air minum PDAM maupun air botolan, belum menghargai dan membayar jasa keberadaan kawasan konservasi dan upaya tani-hutan di daerah tangkapan air dalam mengkonservasi wilayah tersebut.
Imbal balik ekonomi dari kegiatan konservasi tersebut membutuhkan peningkatan kapasitas masyarakat. Daya tawar masyarakat harus ditingkatkan melalui berbagai pelatihan dan fasilitasi ke pemerintah.
B. Saran
Untuk mewujudkan generasi makmur dan sentosa, bijaksana rasanya jika arah gerak pembangunan yang dikembangkan berpijak pada paradigma agama, budaya lokal, dan berwawasan lingkungan. Dalam bahasa lain, mencetuskan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), berwawasan lingkungan (eco-development) dan bisa juga kita sebut dengan konsep eco-religious, sebab memelihara lingkungan adalah perintah suci dari sang pencipta alam raya ini, Allah SWT. Karena itu, mari kita gulirkan program pembangunan berkelanjutan yang berwawasan agama, budaya lokal, dan berparadigma ekologis mulai detik ini.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan. 1990. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta.
Wardojo, W. 2001. Strategi Pengelolaan Kawasan Konservasi dalam Rangka Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat. Jember: Penerbit Universitas Jember.